Mengenang RA Kartini

Karnaval Balita Baby Smile School untuk Peringati Hari Kartini


SURABAYA - ''Mama, aku capek.'' ''Aunty, aku mau jalan di depan". ''Mainan itu dulu ya, Ma." "Aduh Ma, ini antingnya bikin gatal." Kalimat-kalimat tersebut terdengar bersahut-sahutan di atrium Tunjungan Plaza II kemarin (17/4). Celoteh itu muncul dari siswa Playgroup dan TK Baby Smile School, peserta karnaval Hari Kartini.



Acara tersebut diikuti sekitar 230 bocah berusia satu hingga lima tahun dari lima cabang Baby Smile School di Surabaya. Mereka menggunakan baju adat dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang mengenakan pakaian khas Bali lengkap dengan hiasan bunga di kepala. Ada juga yang memilih tampil praktis dengan baju khas Madura plus hiasan kumis tipis di bawah hidung.

Agar tidak repot, mereka dibagi menjadi dua kelompok. Sebagian ikut karnaval pagi, sebagian lainnya ikut sesi dua yang berlangsung pukul 12.00. Tapi tetap saja, keributan terjadi saat mereka harus berpose di depan juri atau berjalan mengelilingi atrium. Sebab, orang tua dan kerabat yang menemani sibuk mengarahkan gaya atau membujuk mereka agar mau tampil.

Sepertinya, para bocah itu tidak terlalu peduli dengan acara yang mereka ikuti. Buktinya, meski sudah berdandan rapi, mereka lebih suka berada di gendongan sambil minum susu botol. Misalnya, Cahaya Rayya R. yang masih berusia 1,5 tahun. Atau Christopher Gregory yang berusaha melepaskan diri dari rombongan dan lari ke area permainan. "Hayo balik. Mainnya nanti," teriak sang mama, Elvin Nathania.

Menurut Yulian Reni, kepala sekolah Baby Smile School cabang Alfazona, karnaval itu dilangsungkan setiap tahun. Mereka memilih pusat perbelanjaan agar anak-anak yang masih kecil tidak kepanasan. "Kita pindah-pindah. Pernah di Royal Plaza sama Galaxy Mall," katanya. Acara tersebut bertujuan untuk memperkenalkan pakaian khas daerah kepada anak-anak. (JP Online Sabtu, 18 April 2009 / any / dos)


Kartini dari Negeri Kanguru
[JP Online, Minggu, 12 April 2009]

Kita tidak pernah membayangkan bahwa dari Negeri Kanguru telah lahir seorang Kartini. Itulah Molly Werner Bondan, wanita Australia yang hijrah ke Indonesia mengikuti sang suami, Mohammad Bondan. Dia rela meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih menetap di Indonesia. Molly terbang dari Darwin pada 12 November 1947 menuju Surabaya untuk membuktikan seluruh bakti dan nasionalitas keindonesiaannya.

Kisah itulah yang disuguhkan buku In Love with A Nation (dituturkan dalam kata-kata Molly sendiri). Buku ini diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada akhir 2008 bekerja sama dengan Australia-Indonesia Institute, diedit oleh Joan Hardjono-Charles Warner dan diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.

Sebagian orang Indonesia mengenal Multatuli alias Douwes Dekker sebagai orang asing yang berjuang untuk tanah yang bukan tanah airnya. Nah, seperti itu jugalah Molly Bondan. Di buku ini, Molly menyebut dirinya bukan orang asing di Indonesia. Dia adalah orang ''kecil'' yang memainkan peran kecil, yang bersama orang-orang kecil lainnya berusaha membantu perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan.

Molly Bondan, ketika masih tinggal di negaranya bergerak aktif di bagian penerangan Asosiasi Indonesia-Australia. Lembaga itu beranggotakan orang-orang Indonesia eks-tawanan perang Belanda yang dibuang ke Boven Digul. Mohammad Bondan adalah salah seorang tawanan politik Belanda kala itu. Bondan dipenjara dan diasingkan ke Boven Digul karena kegiatannya di bidang pendidikan. Dia menjadi anggota Asosiasi Pendidikan Nasionalis Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta dan Syahrir. Dari Digul, Bondan dibawa Belanda ke Australia bersama warga Indonesia lainnya sebagai ''barang'' rampasan Belanda ketika Jepang menduduki Indonesia.

Di Asosiasi Indonesia-Australia, tugas Molly me-relay berita-berita pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dari The Voice of Indonesia, stasiun RRI Jogjakarta, yang disebarluaskan ke banyak Negara agar memperoleh perhatian dunia mengingat tindak kekejaman penjajah Belanda. Buku ini juga mengisahkan bagaimana Molly melihat di balik senyum dan tawa orang-orang Indonesia di pengasingan tersirat penderitaan dan kegelisahan yang mereka sembunyikan.

Hasil nyata dari relay Molly adalah pelarangan kapal-kapal Belanda bersandar di semua pelabuhan Australia, yang kemudian menyebar hampir di seluruh pelabuhan dunia.

Ketika sudah di Indonesia, Molly membantu siaran bahasa Inggris The Voice of Free Indonesia, di RRI Jogjakarta. Saat itu RRI Jogjakarta menyiarkan berita-berita ke luar negeri dalam tujuh bahasa asing: Inggris, Prancis, Belanda, Arab, Mandarain, Urdu, dan Jerman.

Molly juga pernah bergabung di RRI Jakarta. Dia mendapat tugas membawakan program mingguan Open Letters atau Surat Terbuka yang menyiarkan gambaran kondisi dalam negeri Indonesia kepada orang-orang di luar Indonesia. RRI juga meminta Molly untuk menangani program pendidikan Indonesian by Radio, pelajaran bahasa Indonesia bagi orang-orang asing di Jakarta selama 20 menit dua kali seminggu.

Molly sangat bangga dan hormat kepada para pemimpin Indonesia yang bijak dan beruntung karena mendapat dukungan rakyat, sehingga negeri ini tetap utuh. Bagaimana hebatnya rasa takut dan rasa etnosentris yang ditanamkan penjajah kepada rakyat jelata dan para pemimpinnya dengan maksud untuk memecah-belah kesatuan dapat ditepis dengan kesadaran dan kecintaan mereka pada bumi pertiwi.

Totalitas pengabdian Molly pada Indonesia tecermin langsung dari posisinya sebagai pegawai negeri di Kantor Kementerian Penerangan dan Departemen Luar Negeri dalam kurun waktu yang cukup lama (1951-1968). Perasaan pas di bidang pekerjaan dan sambutan teman-teman sejawat membuat Molly semakin betah tinggal di Indonesia. Molly seperti menemukan jati dirinya di Indonesia.

Bahkan, kehebatan Molly mampu menyedot perhatian Presiden Soekarno. Akhirnya, Molly pun dipanggil dan diminta ikut mengedit dan menyiapkan pidato kenegaraan presiden. Molly juga menerjemahkan materi kuliah Bung Karno tentang Marhaenisme ke bahasa Inggris untuk peringatan ulang tahun ke-13 Partai Nasionalis Indonesia di Bandung pada 3 Juli 1957.

Molly juga diminta penerbit PT Gunung Agung untuk mengedit biografi setengah resmi Presiden Soeharto: The Smiling General. Tahun 1983, dia juga membantu Mendagri Supardjo Rustam untuk menerbitkan buku-buku kebudayaan Indonesia dalam bahasa Inggris. Di antaranya Candi-Candi di Jawa Tengah, Borobudur, Wayang Purwa, Lordly Shades, dan banyak lagi.

Saat Indonesia mengadakan pemilu pertama pada September 1955, Molly merekam sejarah penting bagi bangsa ini. Jakarta kala itu mempunyai penduduk 1,8 juta jiwa dengan enam kursi di parlemen. Kurang satu suara saja dapat menggagalkan partai peserta pemilu, yang jumlahnya lebih dari seratus, mendapatkan kursi. Hasilnya memang banyak partai kecil yang sama sekali tidak memperoleh kursi di parlemen.

Setelah pensiun dari pekerjaan rutin di pemerintah, Molly memilih menjadi penulis. Dia secara teratur menulis untuk Koran Kami dengan topik Pancasila dan masalah kebangsaan lainnya.

Banyak hal penting dalam buku In Love with A Nation yang sayang apabila dilewatkan begitu saja. Molly Bondan menarasikan tuturannya baik dari sudut pandangnya sebagai orang kecil maupun dari sudut pandang lawan-lawannya.

Meski tidak sedikit yang memandang keputusan Molly pindah ke Indonesia dengan caci-maki, banyak pula yang memuji. Dia telah membuktikan diri sebagai nasionalis sejati hingga akhir hayatnya pada 1990. (*)

*) Fabiola D. Kurnia, Guru Besar Sastra FBS Universitas Negeri Surabaya
*** * ***


Perjuangan Kartini Mendebat Para Sahabatnya
Oleh : Sirikit Syah *


Islam mengajarkan, seorang ibu harus pintar karena ibulah yang mendidik anak-anak, membangun generasi. Karena itulah, perempuan dalam Islam diperbolehkan, bahkan dianjurkan bersekolah. Banyak warga Indonesia keturunan Arab di Indonesia yang putrinya bersekolah hingga S-1 dan S-2 meski kelak hanya menjadi ibu rumah tangga (di antara mereka teman-teman saya sendiri). Bagi kalangan keluarga Arab itu, menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan main-main. Engkau harus pintar.

Mungkin, prinsip itulah yang juga mendasari gerakan pendidikan perempuan yang dicetuskan Kartini di pengujung abad ke-19 memasuki abad ke-20. Ketika Kartini berjuang mengadakan pendidikan bagi kaum perempuan, cita-citanya tentu bukan untuk mencapai kesetaraan di segala bidang dengan laki-laki, atau menjadi wanita karir yang sukses. Tujuan Kartini jelas seperti suratnya kepada Tuan dan Nyonya Anton, 4 Oktober 1902:

"Pekerjaan memajukan peradaban manusia haruslah diserahkan kepada perempuan. Dengan demikian, maka peradaban itu akan meluas dengan cepat dalam kalangan bangsa Jawa. Ciptakan ibu-ibu yang cakap serta berpikiran, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak laki-laki akan menjaga kepentingan bangsanya."

Sebagai seorang putri Jawa yang dibesarkan di lingkungan feodal, dia melihat betapa penting bekal pengetahuan perempuan bagi kehidupan yang lebih luas. Membangun sebuah generasi bangsa memang harus dimulai dari lingkup terkecil: rumah, lingkungan tempat tinggal, masyarakat terdekat. Bukankah saat ini kita telah melihat banyak ironi di sekitar kita? Istri berkarir, suami kehilangan pekerjaan. Ibu mengajar di sekolah A, anak dikirim ke sekolah B. Ibu mendidik anak orang lain, anak sendiri diasuh pembantu. Ibu makan siang dengan relasi, anak menonton televisi sesuka hati. What's the point? Mengenang Kartini saat ini, kita patut mengajukan pertanyaan kritis itu kepada diri kita sendiri: "What's the point of us getting high education? What for?"

Sejak SD kita belajar tentang Ibu Kita Kartini sebagai pejuang kaumnya. Habis Gelap Terbitlah Terang kita maknai sebagai "habis kebodohan terbitlah pencerahan". Kartini percaya bahwa "Hidup itu indah bila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang." Dalam persepsi saya, "cahaya terang" itu bukan persahabatannya dengan orang-orang Eropa, atau ilmu yang didapatnya, melainkan perkawinannya dan perkenalannya dengan Islam.

Memang tak sedikit tulisan yang mengusik perkawinan Kartini dengan pemikiran-pemikiran antipoligami. Kartini dianggap mulai melemah dan akan membunuh perjuangannya sendiri. Bila kita simak surat-suratnya, Kartini tampak sibuk dan gencar membantah atau menolak ''sebuah ajakan/ajaran'' yang berlawanan dengan kemauannya.

Memang benar bahwa gairah belajar Kartini menurun ketika guru agamanya mengecam bahkan melarang perempuan menggunakan otaknya dalam memahami Alquran. Namun, skeptisismenya terhadap Islam itu terjadi pada saat dia remaja. Dan semua anak remaja pasti mengalami masa ''pemberontakan'' terhadap segala sesuatu. Untuk Kartini, pemberontakan itu bukan hanya kepada otokrasi para ulama, tetapi juga kepada feodalisme, perkawinan poligami ayahnya, penjajahan Belanda, dll. Menjadi kurang adil bila surat-surat Kartini yang dianggap sebagai "jalan pikiran Kartini" itu diseleksi dari surat-suratnya di masa dia remaja dan penuh pergolakan jiwa.

Ada kebenaran lain yang tersembunyi, yaitu kebenaran yang muncul ketika Kartini beranjak dewasa. Ketika semakin memahami Alquran, Kartini kemudian mendorong penerjemahan dan penyebarluasannya. Keputusannya menikahi bupati yang telah beristri juga bukan keputusan membabi-buta atau karena dipaksa. Kartini memiliki waktu yang cukup untuk mengenali calon suami dan mempertimbangkan keputusannya. Selain mengagumi dan mencintai calon suaminya, Kartini menikah juga dilandasi cita-cita besarnya: agar memiliki resources lebih besar untuk mendidik anak-anak perempuan dan menyebarluaskan Islam.

Salah satu cuplikan suratnya tentang suaminya cukup menggambarkan bagaimana sosok sang suami: "Saya merasa mendapat hak istimewa di atas ribuan orang untuk mengarungi hidup di samping seorang pria yang demikian luhur." Di surat yang lain, Kartini menyebut calon suaminya sebagai "permata" yang ditemukannya. Surat-surat bernada seperti itu banyak dilayangkan kepada para sahabatnya, seolah-olah Kartini berjuang meluruskan opini para sahabat yang keliru memahami.

Ada surat lain yang seolah menjelaskan pilihan hidupnya: "Ibu tahu, saya merencanakan pergi ke Betawi untuk belajar guna mencapai ijazah sebagai guru bantu di sana. Tetapi, jalan saya tak akan menuju ke Barat, jalan saya menuju ke Timur, di samping seorang laki-laki terpelajar yang menaruh perhatian pada peradaban Barat. Saya menuju ke perwujudan cita-cita bangsa kami secara langsung dan melalui jalan terpendek."

Surat-surat semacam itu bisa jadi merupakan jawaban Kartini atas ''ajakan entah apa''. Kartini secara tegas memutuskan untuk menikah, bukannya terus bersekolah (atas beasiswa yang diusahakan teman-teman Belandanya). Bila perwujudan impiannya bisa diperoleh melalui jalan pernikahan atau jalan mendapat beasiswa ke Betawi, dia ternyata memilih jalan pernikahan. Surat-suratnya menyiratkan betapa besar perjuangan Kartini justru untuk berargumentasi dengan para sahabat korespondennya.

Itulah salah satu argumen kerasnya dalam masalah perkawinannya: "Pengaruh istri bupati akan lebih besar daripada pengaruh anak perempuan bupati. Insya Allah, saya tak hanya dapat mendidik anak-anak, tetapi juga berpengaruh kepada ibu-ibu mereka."

Lebih Cerdas

Sebagai bangsa penerus cita-cita Kartini, kita mesti lebih cerdas dalam membaca surat-surat Kartini. Surat Kartini kepada Ny Van Kohl, 21 Juli 1902, secara halus menolak ''ajakan'' untuk mengikuti kepercayaan si penulis surat: "Yakinlah Nyonya bahwa kami akan selalu memeluk agama kami yang sekarang". Kepada Ny Abendanon Mandri, 12 Oktober 1902, Kartini juga menulis: "Kami ingin mengabdi kepada Tuhan dan bukan kepada orang."

Sayang surat ''para sahabat'' yang menimbulkan jawaban-jawaban tegas Kartini itu tak pernah ditampilkan; dan ini tentu politik pembentukan opini publik. Surat-surat yang diterbitkan hanya surat-surat Kartini, bukan surat sahabatnya, dan telah diseleksi sesuai agenda setting bangsa Belanda pada waktu itu (antara lain kristenisasi, dll). Bila kita membaca surat-surat Kartini, bahkan yang telah diseleksi dengan ketat sekalipun, tersirat betapa para sahabatnya gencar memengaruhinya untuk meninggalkan Islam, dan mencegahnya menikahi bupati Rembang. Salah satu ''iming-iming''-nya: beasiswa bersekolah di Betawi. Kartini memilihi menikah.

Bagaimanapun, Kartini memang teladan kita. Dia mengajari bangsa ini tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, dan mengajari kita bagaimana tetap teguh memegang prinsip di tengah derasnya politik strategis penjajah Belanda agar orang-orang cerdas seperti Kartini meninggalkan jati diri Indonesianya. Kartini ternyata memiliki perjuangan lain yang tersembunyi, yang tak kalah beratnya. Kita patut menghormatinya. [JP Online, Selasa, 21 April 2009]

*. Sirikit Syah, analis media dan aktivis perempuan di Surabaya
Sincerely,
Padhang Bulan


0 komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar TERBAIK kamu. Yang paling rajin komentar Lela review blognya dalam posting “BLOG REVIEW”. Komentar yang kreatif-inspiratif memungkinkan jadi bahan posting Lela dan pastinya.., blog kamu dapat promosi GRATIS. Thanks..

 
[Image]
WarNing !
Copy-paste diBOLEHkan asal mencantumkan url PadhangBulan.blogspot. com. Demi etika, sportivitas, solidaritas, dan saling 'cinta' diantara sesama blogger Indonesia. Share-Saran Anda
Sincerely,
Grup Padhang Bulan
"Yang suka menyendiri silakan menyepi, yang suka berbagi silakan copy code di bawah ini:"

Catatan Lela
Yahoo Online Status Indicator